Selasa, 20 Januari 2009

CINTAI RASULMU dan BERSIAPLAH UNTUK DIUJI !

Ada beberapa kewajiban kita kepada Rasulullah saw. Pertama, kita mesti mengimaninya. Kedua, kita harus membaca shalawat dan salam baginya. Shalawat bukan saja tanda bahwa kita menghormati Rasulullah, tapi juga merupa-kan tanda kecintaan kita kepada Rasulullah saw. Kita tahu bahwa jika orang mencintai seseorang yang lain, maka bibirnya akan sering mengucapkan nama orang itu. Salah satu tanda cinta adalah seringnya kita menyebut nama orang yang dicintai. Menyebutnya pun berbeda dengan menyebut nama orang lain, lantaran emosi tertentu yang terkandung di dalamnya. Seperti itulah tanda kecintaan kita kepada Rasulullah saw. Sehubungan dengan ini, maka tanda memu-liakan Rasulullah saw adalah mahabbah atau mencintainya. Ungkapan kecintaan bisa dilakukan dengan banyak menyebut nama. Dengan shalawat, kita menyebut nama Rasulullah saw.

Dalam sebuah buku Antropologi klasik, Golden Bow, dikisahkan tentang kebiasaan dari berbagai bangsa di dunia dalam hubungannya dengan ilmu gaib. Dijelaskan bahwa ada dua macam ilmu gaib. Pertama, yang disebut dengan Magic Kontak. Yaitu ilmu gaib yang diperoleh dengan melakukan kontak atau hubungan dengan benda-benda atau apa saja yang terkait dengan orang yang menjadi sasaran ilmu gaib itu. Di suku Jawa misalnya, bila orang itu ingin menjatuhkan hati seorang wanita, maka ia akan mengambil sesuatu yang pernah bersentuhan dengan wanita itu.

Jenis yang kedua, disebut dengan Magic Analogis. Ini terjadi bila orang meng-inginkan sesuatu melalui kekuatan gaib dengan melakukan sesuatu yang mirip dengan yang diinginkan. Misalnya, bila orang menginginkan angin berhembus, maka dia akan bersiul. Siulan itu analog dengan datangnya angin. Orang pun dapat menyerang orang lain dengan menggunakan boneka. Boneka itu dianggap analog dengan orang yang diserang. Jika boneka itu ditusuk, maka orang itu yang kesakitan. Jika boneka itu dibakar, maka orang itu yang kepanasan.

Kebiasaan seperti itu ternyata ada di hampir seluruh bangsa di dunia. Saya tidak tahu pasti apakah ada hubungan antara kekuatan gaib dengan persentuhan benda-benda yang berkaitan. Tapi jika kita melihat tradisi para sahabat Rasulullah saw untuk bertabaruk atau mengambil berkah dari benda-benda yang pernah bersentuhan dengan Rasulullah saw, seakan-akan magic yang primitif di atas itu memperoleh justifikasi agama. Para sahabat mengambil apa apa yang telah disentuh Rasulullah saw dengan keyakinan seperti itu.

Contoh dari hal ini dapat kita temukan pada salah satu riwayat Rasulullah saw. Pada satu tengah hari yang terik, Rasulullah saw tidur di rumah Ummu Sulaim, ibu Anas bin Malik. Keringat beliau bercucur-an karena kepanasan. Ummu Sulaim lalu menampung tetes-tetes keringat itu dengan cangkirnya. Saat Rasul terbangun dan melihat ada cangkir di sisinya, ia bertanya, “Apa yang kamu lakukan?” Ummu Sulaim menjawab, “Ya Rasulullah, saya ingin mengambil keringatmu itu untuk mendatangkan berkah buat anak-anak saya.” Bila orang-orang primitif menyebut hal itu dengan kekuatan gaib, Ummu Sulaim menyebut hal itu dengan mengambil berkah. Rasulullah kemudian berkata pada Ummu Sulaim, “Engkau benar.”

Dulu orang sering mengambil sesuatu yang pernah berasal dari Rasulullah saw atau yang pernah disentuh Rasulullah saw. Mereka mengambil berkah dengan menyentuh apa saja yang pernah bersentuhan atau yang pernah menjadi bagian dari Rasulullah saw. Mereka menyentuh mimbar Nabi, menjilati bekas jari jemari Rasul, dan memperebutkan bekas minum Rasul. Tanpa menghubung-kannya dengan magic, saya kira itulah ungkapan kecintaan kepada Rasulullah saw. Bila kita mencintai seseorang, kita juga ingin menyentuh apa yang telah disentuh orang itu.

Pada zaman dahulu, biasanya anak muda yang mulai pacaran senang bertukar sapu tangan. Orang yang jatuh cinta itu akan bahagia bila satu saat, kala hati mereka sedang dipenuhi kerinduan, mereka mencium sapu tangan kekasihnya. Pada suami isteri, bila sang suami pergi, maka isteri akan mengambil dan memeluk baju suaminya. Itu bukan tanda-tanda kemusyrikan. Itulah tanda kecintaan. Seperti itu jugalah kecintaan para sahabat, tabi’in, dan ulama terdahulu terhadap Rasulullah saw.

Misalnya satu ketika Aisyah mendengar Amar bin Yasir ditendang seorang sahabat yang lain sehingga ia pingsan. Aisyah keluar dengan membawa sandal dan rambut Rasulullah saw. Sambil berteriak-teriak, ia berkata, “Lihat! Sandal Rasulullah ini belum lusuh dan rambutnya belum lekang tapi kalian sudah meninggalkan sunnah Rasulullah.” Siti Aisyah menghubungkan dua benda itu dengan Rasulullah saw.

Ketika Rasulullah saw meninggal dunia, beberapa sahabat datang ke kuburan Rasul. Mereka mengambil tanah kuburan itu dan mengusapkannya ke wajah mereka. Mereka tahu, tanah kuburan itu telah menyentuh jasad Nabi yang mulia. Dengan penuh kecintaan, mereka mengusapkan tanah ke wajah mereka. Mereka lakukan itu bukan karena kemusyrikan melainkan karena kecintaan kepada Rasulullah saw.

Bila saat ibadah haji banyak jemaah yang berusaha untuk menyentuh dinding kuburan Rasul, itu juga lantaran ungkapan cinta mereka kepada Rasul. Mereka tidak melakukannya karena menganggap Rasul sebagai Tuhan yang lain selain Allah. Kalau mereka menyentuh dinding kuburan, itu karena mereka tahu bahwa di balik dinding itu, ada Nabi yang mulia dimakamkan. Ketika saya pergi haji beberapa waktu lalu, saya melihat ada orang-orang yang matanya penuh dengan linangan air mata. Mereka meng-usapkan tangannya di atas makam Rasul seraya mengucapkan shalawat. Pemandangan itu menurut saya amat indah. Dulu saya anggap hal itu sebagai kebodohan kaum muslimin yang masih melakukan kemusyrik-an. Sekarang saya lihat hal itu sebagai ungkapan kecintaan umat yang telah ditinggalkan Rasulnya selama lebih dari seribu tahun. Meskipun telah sepuluh abad lebih Rasulullah pergi, umatnya masih meneteskan air mata kecintaan kepadanya hanya dengan menyentuh dinding kuburan-nya saja.

Kecintaan kita kepada Nabi diperintahkan oleh Rasulullah. Saya akan kemukakan berbagai hadits tentang kewajiban kita untuk mencintai Rasulullah saw. Salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Turmudzi juz ke-2 hal 308. Dalam hadits yang diriwayatkan dengan sanad dari Ibnu Abbas ini, dikisahkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Cintailah Allah atas nikmatnya kepada kamu semua. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan cintailah ahli baitku karena kecintaanmu kepadaku.” Hadits ini menunjukkan bahwa kita disuruh mencintai Allah karena nikmat yang telah Dia berikan. Jika kita mencintai Allah, maka kita pun harus mencintai Rasulullah saw dan jika kita mencintai Rasulullah saw, maka kita pun harus mencintai keluarganya.

Jalaluddin Al-Suyuthi, dalam tafsir Al-Durr Al-Mantsur, mengutip ayat Alquran untuk menjelaskan hadits ini. Ayat 23 dari surat Al-Syura itu berbunyi, “Katakanlah oleh kamu Muhammad; Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas dakwahku, kecuali kecintaan kepada keluargaku.”

Dalam surat Al-Ra’d ayat 28 Allah berfirman, “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan zikir kepada Allahlah, hati menjadi tentram.” Rasulullah saw menjelaskan ayat ini dengan mengatakan, “Orang-orang yang bisa tentram hatinya dengan zikir kepada Allah adalah orang-orang yang mencintai Allah, mencintai Rasul-Nya, dan mencintai keluargaku dengan kecintaan yang tulus, bukan kecintaan yang dusta.”

Kita diwajibkan untuk mencintai Rasulullah saw. Salah satu ungkapan cinta kita kepada Rasulullah saw adalah dengan mencintai ahlul baitnya. Sebuah hadits yang terdapat dalam Kitab Kanzul ‘Umâl juz ke-6 halaman 218 menceritakan ucapan Rasulullah saw kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib. Rasul bersabda, “Hai Ali, Islam itu telanjang. Pakaiannya adalah takwa. Perhiasannya adalah rasa malu. Yang membaguskannya adalah sifat wara’. Manifestasinya ialah amal saleh. Asasnya adalah kecintaan kepadaku dan kepada keluargaku.” Jadi tonggak Islam itu adalah kecintaan kepada Rasulullah saw dan keluarganya. Di atas dasar itulah Islam ditegakkan.

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Al-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Awshaf, yang juga diriwayatkan dalam Kanzul ‘Umâl juz ke-7 halaman 212, Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya dari empat hal. Ia akan ditanya dari umurnya; ke mana umurnya itu ia habiskan. Ia akan ditanya dari jasadnya; ke mana jasad itu ia rusakkan. Ia akan ditanya dari hartanya; untuk apa harta itu ia infakkan dan dari mana harta itu ia peroleh. Dan ia akan ditanya dari kecintaannya kepada kami, keluarga Rasul.” Kita akan ditanya pada hari Kiamat, apakah kita mencintai Rasulullah saw dan mencintai keluarganya.

Begitu pentingnya kecintaan ini sebagai asas Islam, sampai Rasulullah saw bersabda, “Didikkan tiga hal pada anak-anak kamu. Pertama, mencintai Nabi kamu. Kedua, mencintai keluarga Nabi. Ketiga, membaca Alquran. Karena pembaca Alquran akan berada di dalam perlindungan Allah pada hari ketika tidak ada lagi perlindungan kecuali perlindungan-Nya.” Itulah asas Islam; Alquran dan kecintaan kepada Nabi dan keluarganya.

Dalam hadits Al-Tsaqalayn yang kita kenal, Rasulullah saw bersabda “Aku tinggalkan kepadamu dua hal yang kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang kepadanya. Yang kesatu adalah tali Allah yang terjulur dari langit ke bumi. Ujung tali itu bersumber kepada Allah dan ujung lain pada kamu. (Yang dimaksud dengan tali ini adalah Alquran). Yang kedua adalah keluargaku.” Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah saw sampai menyebutkan hal ini tiga kali untuk menunjukkan betapa penting-nya mencintai keluarga Nabi dan berpegang teguh kepada Alquran.

Hadits berikutnya berasal dari Jabir bin Abdullah. Jabir mendengar Rasulullah saw bersabda, “Tidak akan mencintai kami, keluarga Rasul, kecuali mukmin yang takwa dan tidak akan membenci kami kecuali orang munafik yang durhaka.” Jadi, ukuran apakah seseorang itu mukmin atau munafik ter-gantung dari kecintaannya kepada Rasulullah saw dan keluarganya.

Mengapa kita harus mencintai Rasulullah saw dan keluarganya dan mengapa kecintaan itu disebut sebagai asas dan tonggak dari Islam?

Saya akan menjawab pertanyaan ini dengan beberapa hadits. Pernah suatu ketika ada orang datang menemui Nabi dan mengatakan, “Ya Rasulullah, saya mencintai-mu.” Lalu Nabi berkata, “Anta ma’a man ahbabta. Kamu beserta orang yang kamu cintai.”

Pada riwayat lain, di Masjid Kuba ada seorang Imam yang diprotes oleh makmum-nya karena selalu membaca surat Al-Ikhlas dalam shalatnya. Seseorang datang kepada Imam itu dan protes, “Mengapa kau selalu membaca Al-Ikhlas?” Imam itu menjawab, “Bila kau tidak senang kepadaku, silahkan cari Imam yang lain.” Suatu saat Rasulullah saw datang ke masjid Kuba dan diberita-kanlah kepada Rasulullah ihwal “Imam Pembaca Al-Ikhlas” itu. Rasulullah lalu memanggil sahabat itu dan bertanya, “Mengapa kamu selalu membaca Al-Ikhlas?” Sahabat itu menjawab, “Ya Rasulullah, saya senang betul kepada Al-Ikhlas ini. Saya mencintainya.” Lalu Rasulullah saw berkata, “Anta ma’a man ahbabta. Engkau beserta apa yang engkau cintai.”

Kita akan beserta apa yang kita cintai. Rasa cinta amat berpengaruh besar terhadap perilaku kita. Kalau kita mencintai sesuatu, maka seluruh perilaku kita akan dipengaruhi oleh sesuatu itu. Jika kita mencintai sepak bola, kita akan mencintai apa saja yang berkaitan dengan sepak bola. Kita akan menempel gambar pemain sepak bola dan kita akan berlangganan tabloid Bola. Kalau pemain kesayangan kita bertanding, seluruh emosi kita akan dibawa dalam suatu kekhusyukan menyaksikan pertandingan itu. Kita akan mampu bangun tengah malam hanya karena kita tahu bahwa malam itu akan ada suatu pertandingan sepak bola. Karena kita mencintai sepak bola, maka seluruh perilaku kita dipengaruhi oleh sepak bola.

Jika Anda mencintai Michael Jackson, maka Anda akan berusaha untuk membeli segala sesuatu yang berkaitan dengan Jackson. Tidak hanya itu, Anda juga akan berusaha untuk meniru segala perilaku Jackson. Mulai dari rambut, jaket, sampai sepatu, Anda akan mencari yang mirip dengan yang dikenakan pujaan Anda itu.

Jadi, anta ma’a man ahbabta. Jiwa Anda akan beserta jiwa orang yang Anda cintai. Rasulullah saw menganjurkan kita untuk mencintai beliau dan ahli baitnya. Karena bila kita mencintainya dengan tulus, maka perilaku kita akan sesuai dengan perilaku Rasulullah saw dan keluarganya. Kita akan bertingkah laku seperti apa yang dikehendaki Rasulullah. Seluruh kejadian yang menimpa Rasulullah dan keluarganya akan mempengaruhi emosi dan perasaan kita.

Kita sering mendengar orang berkata, “Kita harus meniru sunnah Rasulullah saw.” Meniru sunnah Nabi tidak bisa diajarkan lewat khutbah. Itu harus diajarkan lewat kecintaan kepada Rasulullah. Jika kita mencintainya, maka secara otomatis kita akan meniru segenap tingkah lakunya. Kita akan mampu meniru perilaku Rasulullah saw. Bila riwayat Rasulullah saw diceritakan, hati kita akan terbawa di dalam kekhusyukan ketika kita mendengarkannya.

Karena itulah kita memahami mengapa kecintaan terhadap Rasulullah saw dan keluarganya menjadi asas dari Islam. Karena kalau kita membenci Rasulullah dan keluarganya, maka seluruh bangunan keagamaan kita itu runtuh. Kita tidak bisa lagi meniru Rasulullah saw. Sukar bagi kita untuk berperilaku seperti perilaku Rasulullah.

Seseorang dengan mengutip Shakespeare berkata, “Love is like a gentle rain. Cinta itu seperti air hujan yang turun dari langit. Ia turun di mana saja yang ia kehendaki. Jadi kita tidak bisa menyuruh orang lain untuk mencintai sesuatu. Karena cinta tidak bisa diarahkan dan diajarkan.” Saya kira dalam hal ini Shakespeare keliru. Pertama, hujan tidak selalu jatuh pada tempat yang tidak terduga atau yang ia kehendaki. Hujan jarang jatuh di padang pasir. Jatuhnya hujan dapat kita prediksikan. Kedua, cinta itu dapat dibina. Cinta bisa ditanamkan. Salah satu cara menanamkan kecintaan kita kepada Rasulullah saw ialah dengan berusaha mengenal riwayat Rasulullah. Salah satu peribahasa Jawa, yang terkenal kebenarannya secara ilmiah, berbunyi, “Witing tresno jalaran soko kulino. Permulaan kasih itu karena kita mengenal.” Peribahasa itu terbukti benar. Kita cenderung mencintai hal-hal yang kita kenal dengan baik. Jika Anda mengenal seekor kucing yang sering datang ke rumah Anda setiap pagi, dan satu saat kucing itu mati, maka Anda pasti akan merasa sedih.

Kecintaan tumbuh karena kita mengenal. Kita harus mengenal riwayat, akhlak, dan perjuangan Rasulullah saw dan keluarganya. Bila kita tidak kenal, kita tidak akan menyenanginya. Karena itu, usaha orang munafik dan orang kafir untuk merobohkan tonggak Islam ialah dengan memperkenalkan Rasulullah saw dan keluarganya dengan cara-cara yang jelek supaya kita tidak mencintai Rasulullah. Lihat saja buku-buku karya para orientalis terdahulu tentang Rasulullah saw. Mereka menceritakan Rasulullah dengan luar biasa buruknya. Seorang penulis Prancis menjuduli karyanya dengan Muhammad, Sang Penipu Besar. Dante Alighieri, penulis Divina Comedia, menceritakan dalam karyanya tentang Muhammad yang ia temukan di dasar neraka. Mereka berusaha dengan sistematis untuk mendiskreditkan Rasulullah saw. Karena bila umat Islam sudah hilang kecintaannya kepada Rasulullah, maka runtuhlah seluruh tonggak agama itu. Kita hanya akan berperilaku seperti Rasulullah bila kita mencintainya. Dalam sejarah Islam juga muncul riwayat-riwayat yang mendiskreditkan Rasulullah. Misalnya hadits tentang Rasulullah yang bermuka masam dan berpaling dari orang buta sampai Rasul ditegur oleh Allah swt.

Sebuah hadits lain menceritakan datangnya seorang sahabat yang mencintai Rasul ini agak berbeda. Ketika seseorang mendatangi Rasulullah saw dan berkata, “Ya Rasulullah, aku mencintaimu.”, Rasulullah menjawab, “Maka bersiaplah engkau menghadapi ujian.” Cinta memang harus diuji untuk membuktikan ketulusannya. Dalam Ilmu Psikologi Cinta, ada yang disebut dengan ujian kecintaan. Jika seorang wanita tahu bahwa seorang lelaki mencintainya, tapi wanita itu ingin merasa yakin akan cinta sang lelaki, maka wanita itu akan melakukan suatu ujian akan kecintaan lelaki tersebut. Cinta harus diuji. Oleh sebab itulah ketika seseorang datang kepada Rasulullah seraya menyatakan cintanya, Rasul berkata, “Bersiaplah, engkau akan menghadapi ujian.”

Bila Anda telah menyatakan kecintaan Anda kepada Rasulullah saw dan keluarganya, bersiaplah untuk diuji dalam kehidupan Anda. Salah satu bentuk ujian itu ialah Anda akan dicerca, dicemooh, dimaki, dan difitnah. Ujian itu akan membuktikan apakah Anda bertahan atau tidak dalam kecintaan kepada Rasulullah saw dan keluarganya.

Jika Anda baca riwayat para pecinta Rasul dan keluarganya sepanjang sejarah, Anda akan menyaksikan ujian-ujian yang luar biasa yang mereka alami. Di zaman Muawiyah, selama 80 tahun keluarga Rasulullah dicaci maki di mimbar-mimbar. Orang yang tidak mau mencaci harus berhadapan dengan pihak penguasa. Misalnya yang terjadi dengan Hujur bin ‘Adi. Suatu saat, seorang khatib menutup khutbahnya dengan mengutuk keluarga Rasul. Hujur protes. Ia berdiri lalu mengutuk khatib itu. Hujur lalu ditangkap dan dikubur hidup-hidup. Pernah di zaman pemerintahan Al-Hajjaj, ketika Al-Hajjaj mengutuk keluarga Nabi di suatu masjid, orang-orang ribut dan tidak mau ikut mengutuk. Al-Hajjaj lalu memotong semua tangan jemaah masjid itu karena mereka tidak mau mencaci maki keluarga Nabi. Sampai ada satu tradisi waktu itu, bila orang ingin mencaci orang lain, ia memanggilnya, “Ya Ali!” Ali digunakan sebagai makian. Bahkan bila ada orang yang mempunyai nama Ali, maka ia akan dibunuh.

Sepanjang sejarah, para pecinta Rasul dan keluarganya itu dianiaya, disakiti, dan dibunuh. Seorang guru Umar bin Abdul Aziz adalah pecinta Rasul dan keluarganya. Tetapi ia menyembunyikan kecintaannya itu karena pertimbangan keselamatan dirinya. Satu saat, Umar kecil memaki saudaranya dengan menyebut, “Hai Ali! Hai Murtad!” Guru itu rupanya tidak tahan menyembunyikan kecintaannya. Ia panggil Umar dan berkata kepadanya, “Kamu tahu siapa itu Ali bin Abi Thalib yang kamu caci maki itu? Ketahuilah, dialah menantu Rasulullah. Dialah orang yang berbaring di ranjang Rasulullah ketika Nabi akan hijrah. Dialah orang yang tentangnya Rasulullah berkata, ‘Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya.’…” Dan mulailah guru itu bercerita tentang hadits-hadits mengenai keutamaan Sayidina Ali. Umar memberitahu-kan hal ini kepada ayahnya, khalifah waktu itu. Guru itu dipanggil. Karena dia meng-ajarkan kecintaan kepada keluarga Rasulullah lewat lidahnya, maka lidah guru itu digunting. Sesudah itu ia dibunuh di hadapan Umar bin Abdul Aziz. Umar mencintai gurunya dan ia merasa berdosa akan kejadian itu. Maka setelah ia dewasa dan menjadi khalifah, hal pertama yang ia lakukan adalah melarang orang mengutuk Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar.

Sepanjang sejarah, keluarga Rasulullah saw dan para pecintanya dirusakkan nama dan kehormatannya. Sehingga bila Anda berniat untuk mencintai Rasulullah saw dan keluarganya, bersiap-siaplah untuk menghadapi bencana.

Read More…

TIDAKKAH KITA MENYAKITI HATI NABI SAW.

Peringatan Maulid Rasulullah Saw. yang semula dimaksudkan untuk membangkitkan kecintaan kepada Rasulullah saw. ini berkembang perlahan-lahan menjadi sangat kering. Bahkan seringkah Rasulullah tidak diikutsertakan dalam peringatan itu. Tidak jarang, peringatan maulid diisi dengan gelak canda dan tawa yang dapat menjauhkan kita dari kecintaan kepada Rasulullah Saw. Oleh karena itu, dalam memperingati maulid, kita harus berusaha menghadirkan Rasulullah saw. di dalam hati kita. Antara lain dengan membaca shalawat dan salam kepada beliau dan menghidupkan sejarah beliau.

Dahulu, sebenarnya orang-tua kita sudah meninggalkan warisan tentang bagaimana cara mencintai Rasulullah saw. dengan tata-cara yang telah mereka rumuskan. Misalnya, bagaimana shalawat selalu menyertai tahap-tahap kehidupan manusia Muslim di Indonesia. Yaitu ketika seorang anak manusia dilahirkan, dikhitan, dinikahkan, dan ketika ia meninggal dunia.

Ketika seorang anak lahir, diadakanlah akikah yang di dalam marhabannya dibacakan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Di samping itu, ketika kita lahir, kita dikelilingkan kepada orang-orang yang hadir pada resepsi akikah, dan pada telinga kita diperdengarkan shalawat dan salam dari orang di sekitar kita. Sekarang ini, sains membuktikan bahwa telinga anak yang baru lahir sudah merekam suara yang ada di sekitarnya.

Dahulu, ketika kita hendak dikhitan, ketika dibawa ke tempat khitanan diperdengarkan dahulu gemuruh suara orang membacakan shalawat dan salam kepada Nabi.

Juga kalau orang menikah, pengantin lelaki akan diantar ke pengantin perempuan, dengan iringan rebana dan shalawat. Nanti kalau orang meninggal dunia, dibacakan tahlil dan dalam tahlil itu dibacakan shalawat.

Itu menunjukkan bahwa cara yang dilakukan orang dahulu untuk menghidupkan kecintaan kepada Rasulullah di hati kita sudah dibiasakan di setiap tahap kehidupan kita. Tetapi sayang, dalam perkembangan zaman, tradisi ini tinggalkan orang. Bukan hanya ditinggalkan tetapi dianjurkan untuk ditinggalkan. Bahkan bukan dianjurkan untuk ditinggalkan tetapi malah itu dilarang dengan menyebut bahwa itu bid’ah. Sebuah nama yang menyakitkan..!

Karena itulah orang menjadi ragu untuk membacaka shalawat ini. Kalau anak lahir, sekarang ini bukan diadakan marhabanan tetapi dilaksanakan syukuran yang pembacaan shalawatnya hanya sangat sedikit; yaitu hanya di lakukan oleh muballigh pada pembukaan ceramahnya.

Belakangan ini sudah sangat keras lagi penentangan terhadap kecintaan kepada Rasulullah saw ini. Orang bukan hanya takut melaksanakannya tetapi takut kalau amal kita hapus semuanya. Ada yang menyebutnya musyrik. Dan kalau sudah dianggap musyrik, maka terhapuslah amal-amal yang pernah dilakukan. Yang dimusyrikkan, antara lain, berdiri untuk membacakan shalawat kepada Rasulullah saw. Mula-mula di-bid’ah-kan, kini sudah dimusyrikkan. Mereka menyebut itu semua bukan kecintaan tetapi kultus individu. Sebuah kata yang dibuat untuk melegitimasi kurangnya kecintaan kepada Rasulullah Saw.

Saya pernah membaca dalam sebuah Surat kabar tentang maulid, yang penulisnya mengganti istilah maulid dengan hari jadi. Pada kalimat awalnya mengatakan bahwa memperingati hari jadi merupakan kebiasaan jahiliah yang feodalistik. Waktu itu saya hampir tidak mau melanjutkan pembacaan itu. Semuanya menunjukkan bahwa sampai sekarang masih ada orang Islam yang berusaha untuk menghilangkan cara mendekatkan hati kita kepada Rasulullah Saw.

Saya menjadi teringat bahwa pengalaman itu juga pernah saya alami ketika saya mem-bid’ah-kan orang yang berdiri mengucapkan shalawat terhadap Rasulullah saw. Saya juga pernah menganggap bahwa Rasulullah saw. itu manusia biasa seperti kita. Tetapi kalau boleh saya katakan, di dalam sejarah hidup saya ini, sebenamya tercermin sejarah kaum Muslim dalam hubungannya dengan kecintaan dengan Rasulullah Saw.

Sekarang kita memperingati maulid Nabi saw. untuk mengungkapkan cinta kita kepada Rasulullah Saw. Kalau ada yang mengatakan bahwa hal itu bid’ah, biarlah semua tahu bahwa kita ini pelaku bid’ah yang mencinta Nabi saw. Dan kalau Islam itu tidak menghormati Rasulullah saw., maka kita ucapkan saja selamat tinggal kepada Islam.

Sehubungan dengan shalawat ini, saya baca dalam hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang shahih yang maknanya kira-kira demikian, “Siapa yang berziarah kepadaku dan mengucapkan salam kepadaku, maka Allah akan kembalikan ruh ke dalam diriku dan kemudian aku akan menjawab salamnya.”

Jadi saya percaya bahwa Rasulullah saw. itu hidup kembali dan mengucapkan salam. Bahkan dalam hadis disebutkan bahwa para nabi masih beribadah dalam kuburnya. Tapi persoalan yang terakhir ini memerlukan uraian yang panjang. Disebutkan juga kalau orang tidak sempat berziarah kepadaku dan mengucapkan salam kepadaku dari tempat yang jauh, maka malaikat akan datang ke tempat itu kemudian menyampaikan salam kepadaku, kata Rasulullah saw.

Karena itu, waktu tadi kita membacakan shalawat, hati saya betul-betul tersentuh, karena saya yakin bahwa Rasulullah saw. mendengar salam saya.

Sebetulnya ada suatu fitrah dalam diri manusia itu untuk mencintai seseorang yang dikaguminya. Ketika manusia tidak mendapatkan seseorang yang dicintainya, maka mereka mencari siapa saja yang bisa menyalurkan rasa cinta mereka itu. Hal yang seperti ini terjadi juga pada manusia-manusia modern. Mereka mencari orang yang bisa dicintai oleh seluruh jiwa dan raganya, yang untuknya ia rela mengorbankan apa saja demi orang yang dicintainya.

Lihatlah, orang yang mencintai Michael Jackson, ketika bertemu dengannya. Mereka akan meneriakkan namanya, bahkan menjerit, menangis. Ketika dia datang ke Singapura, banyak diantara penggemarnya yang datang ke sana adalah orang-orang Indonesia. Mereka menjerit dengan jeritan yang sama, “Michael Jackson!”

Begitu pula ketika Rebecca Gilling, salah seorang bintang film “Return to Eden”, datang ke Jakarta. Ribuan orang datang ke situ tanpa ada panitianya. Orang-orang yang datang begitu banyak untuk menyentuh, paling tidak bekas injakan kakinya. Itu semua disebabkan karena kerinduan seseorang untuk mencintai seseorang.

Dan bukan tidak mungkin pula bahwa yang datang adalah kaum Muslim yang sudah kehilangan kecintaan mereka terhadap Rasulullah saw, akibat berbagai rekayasa sosial, misalnya dengan menyebut bahwa hal itu sebagai bid’ah dan musyrik.

Kita disuruh mencintai Rasulullah saw. seperti yang disebutkan dalam hadis dan ayat-ayat Al-Quran. Sebagaimana halnya tanaman, cinta memerlukan siraman supaya tumbuh subur. Kalau tidak disiram, maka tumbuhan itu akan layu. Karena itu, kita menghidupkan cara untuk menyirami kembali pohon kecintaan kepada Rasulullah saw. supaya menakjubkan orang yang menanamnya.

Kalau kecintaan itu tumbuh seperti pohon besar yang akan menakjubkan orang yang menanamnya, maka akan marahlah orang-orang kafir. Kita berupaya menumbuhkan kecintaan kepada Rasulullah saw. agar membuat takjub kepada kaum Muslim dan pada saat yang sama membuat marah orang-orang kafir. Bahkan belum sempurna kecintaan kita kepada Rasulullah saw. kalau belum membuat marah orang-orang kafir.

Ada beberapa peristiwa berkenaan dengan diri Nabi Muhammad Saw., terutama dari penderitaan beliau. Sebagaimana kita ketahui bahwa Rasulullah saw. itu adalah orang yang sangat banyak menderita, baik sebelum maupun sesudah menjadi Rasulullah saw. Al-Quran mengatakan:

Maka barangkali kamu akan membunuh dirimui karena bersedih hati sesudah mereka berpaling sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (QS 18: 6).

Rasulullah menderita sejak kecil. Beliau lahir, ayahnya sudah mendahuluinya. Ketika berusia enam tahun, ibunya meninggal dunia. Kemudian beliau dititipkan kepada Abdul Muthalib yang menyayanginya. Kepada Abu Thalib, Abdul Muthalib berpesan agar menjaganya dengan sebaikbaiknya, karena anak ini akan membawa suatu perkara yang besar. Abu Thalib menerima amanat itu, sehingga ketika Abu Thalib membawa Muhammad ke Syam, di pertengahan jalan ada pendeta yang memberitahukan bahwa anak ini adalah nabi. Ketika Abu Thalib mendengar nasihat pendeta itu, Abu Thalib dengan penuh keimanan mengurungkan niatnya untuk berdagang, dan memutuskan untuk kembali ke Makkah. Jadi, Abu Thalib telah mengetahui bahwa Muhammad akan menjadi nabi yang terakhir.

Abu Thalib menjaga Muhammad saw. karena ia mengetahui bahwa anak ini adalah Rasulullah. la menyayanginya sepenuh jiwa dan raga sejak sebelum Muhammad menyatakan dirinya sebagai Rasulullah. Abu Thalib ra. kemudian oleh banyak orang dikafirkan. Bahkan dijadikan contoh betapa susahnya memperoleh hidayah.

Rasulullah saw. jelas mendengar hal ini dan saya yakin bahwa Rasulullah saw. sakit hati. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. menderita bahkan sampai ketika ia telah meninggal dunia. Padahal Al-Quran mengatakan bahwa orang yang menyakiti Rasulullah saw. itu akan dilaknat oleh Allah, malaikat dan Rasul-Nya (QS 33: 57).

Tentang Abu Thalib ini Rasulullah saw. pernah berkata, “Aku dan si pemelihara anak yatim, akan bersama-sama di surga.” Tetapi makna hadis ini kemudian diartikan secara umum, dan Abu Thalib tidak disebut-sebut lagi.

Jadi, hingga sekarang ini, Rasulullah saw. masih menderita karena pamannya dikafirkan orang. Padahal ketika hari kematian pamannya itu, yang kebetulan bertepatan dengan meninggalnya Khadijah ra, Rasulullah saw. menganggapnya sebagai tahun penderitaan.

Nabi itu manusia yang amat luhur, mudah sekali meneteskan air matanya. Pernah suatu saat seorang sahabat datang kepada beliau memberitahukan bahwa ada anak kecil yang meninggal dunia. Waktu itu Rasulullah saw. datang, kemudian beliau mencucurkan air matanya. Beliau tidak sanggup menahan penderitaan anak kecil itu. Begitu pula ketika putranya, Ibrahim, meninggal dunia. Rasulullah saw. menangis melihat orang-orang menderita, padahal penderitaan Rasulullah sendiri melebihi penderitaan mereka semua.

Mungkin kalau penderitaan Rasulullah saw. ini berasal dari orang kafir dapat kita pahami. Misalnya, Rasulullah saw. difitnah, dituduh sebagai tukang sihir, dituding sebagai dukun, bahkan dianggap orang gila. Dibuat opini yang jelek tentang Rasul saw. supaya orang tidak mau mendengarkannya.

Di samping itu orang kafir pun mengganggu beliau secara fisik. Ketika Rasulullah saw. berada di depan para sahabatnya, beliau diludahi oleh Utbah bin Abi With. RasuI Saw. mengusap ludah itu dengan sabar seraya berkata, “Suatu saat engkau akan menyesali apa yang kaulakukan.” Itulah antara lain penderitaan Rasulullah dari orang-orang kafir.

Namun yang menyedihkan adalah penderitaan Rasulullah saw. yang disebabkan oleh orang Islam sendiri. Agak tidak enak saya menceritakan ini. Akan tetapi sebagai pelajaran ada baiknya peristiwa ini kita ceritakan. Misalnya, pada waktu Rasulullah saw. membagikan ghanimah kepada sahabatnya, ada suara yang berteriak, “Berbuat adil, ya Rasulullah.” Kemudian Rasulullah berkata, “Kalau bukan aku yang adil siapa lagi yang akan adil di dunia ini.”

Ketika Rasulullah saw. membagikan pampasan perang (ghanimah) pada waktu penaklukan Makkah, beliau diantar oleh orang Anshar. Ketika sampai di Makkah beliau bagikan ghanimah kepada orang yang baru masuk Islam. Kebetulan yang baru masuk Islam itu adalah kerabat dekatnya sendiri. Maka orang Anshar itu menggerutu, “Lihatlah Muhammad, kalau sudah menang temyata keluarganya juga yang diutamakan.”

Perkataan itu terdengar oleh Rasulullah Saw.. Beliau mengumpulkan orang yang protes itu lalu berkata, “sekiranya seseorang memasuki suatu lembah dan orang-orang Anshar memasuki lembah yang lain, maka demi Allah aku akan mengikuti kamu wahai orang-orang Anshar. Aku tahu kamu yang membela aku, yang menolong aku, aku tidak akan melupakan jasa-jasamu. Tetapi aku akan bertanya kepada kamu hai orang Anshar, Mana yang kamu pilih, harta orang yang hatinya masih harus dijinakkan atau membawa aku, Rasulullah, bersama kalian.”

Pada waktu itu orang Anshar menangis dan berkata, “Ya Rasulullah aku memilih membawa engkau saja kembali ke Madinah”.

Suatu saat Rasulullah saw. pulang dari medan pertempuran Tabuk. Rasulullah saw. kembali dengan berjalan menaiki bukit dan menyuruh para sahabatnya lewat bukit yang lain. Waktu itu. Rasulullah saw. ditemani oleh Hudzaifah. Pada malam hari terdengar suara di sekitar bukit itu. Kata Rasulullah saw., Kejarlah suara itu. Setelah dikejar, mereka -yang menutup mukanya seperti ninja- semua lari. Ketika Hudzaifah kembali, Rasulullah saw. berkata, “Itu adalah sahabat-sahabat kita yang akan mencelakakan diriku dengan menakut-nakuti kendaraanku”.

Jadi mereka menakuti kendaraan Rasulullah saw. supaya Rasulullah saw. terjatuh ke bawah tebing dengan kendaraan yang ditungganginya. Kemudian Rasulullah saw. bertanya kepada Hudzaifah lagi, “Apakah kamu kenal orang itu.” “Tidak,” kata Hudzaifah, “Karena semuanya pakai topeng.” Lalu Rasulullah saw. memberikan nama-nama orang itu.

Itulah antara lain peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Rasulullah Saw. dari orang Islam. Padahal Rasulullah saw. itu orang yang paling sayang terhadap kerabatnya. Beliau akan merasa sedih terhadap penderitaan kaum Muslim.

Yang terakhir, yang juga merupakan penderitaan Rasulullah saw. adalah ketika Rasulullah saw. bermimpi mimbarnya dikerubuti kera. Kemudian turun ayat dalam Surat Al-Isra’ ayat 60 yang memberi peringatan bahwa itu adalah ujian bagi Rasulullah saw.

Tetapi sejak mimpi itu Rasulullah saw. begitu sedih. Beliau selalu bermuka duka. Hal itu terjadi sampai akhir hayat Rasulullah Saw. Suatu malam. Rasulullah saw. pergi ke Baqi dan di situ Rasulullah saw. berkata, “Nanti akan ada fitnah yang, menggunung. Waktu itu berada di perut bumi lebih baik daripada di punggung bumi.”

Pada waktu itu Rasulullah saw. membayangkan suasana ketika kaum munafik mencemari ajaran Rasulullah saw, ketika Sunnah Rasulullah saw. diganti demi kepentingan politik, ketika agama dimainkan oleh orang yang memiliki kekuasaan Rasulullah saw. sangat menyedihkan hal itu, dan menangisi itu semua. Menangisi mimbar besar agama Rasulullah saw. sepeninggal beliau.

Ternyata itu semua terjadi. Saya yakin bahwa Rasulullah saw. sangat menderita karena misi besarnya telah banyak diubah oleh kaum Muslim. Mungkin salah satu yang diubah adalah kecintaan kita terhadap Rasulullah Saw. Ungkapan cinta yang seharusnya menjadi sunnah, ungkapan tawhid, sekarang disebut syirk. Maafkan kami, ya Rasulullah.

Read More…

PERINGATAN MAULID NABI : TRADISI UMAT ISLAM SEDUNIA

PERINGATAN MAULID NABI: TRADISI UMAT ISLAM SEDUNIA

Sumber: fahmina.org

Ditulis Oleh: KH. Husein Muhammad

Hari Senin tahun 571 M. adalah hari kelahiran Nabi terakhir yang telah lama ditunggu-tunggu bangsa Arab. Hampir seluruh dunia muslim memperingatinya dengan upacara yang berbeda-beda. Annemarie Schimmel, menginformasikan kepada kita bahwa kecenderungan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw secara besar-besaran muncul pertama kali di Mesir selama era Fathimiyah (969-1171 M). Perayaan itu dihadiri oleh para cerdik-cendikia dan para ulama. Mereka mendengarkan pidato tentang sejarah Nabi. Di Irak Utara peringatan Maulid Nabi dipersiapkan sejak awal bulan Muharram; pondok-pondok didirikan bagi tamu-tamu yang datang dari luar kota.

Di Turki, masjid-masjid dihiasi dengan lampu-lampu. Di Mesir, para penguasa Mamluk, perayaan besar-besaran untuk memperingati Maulud diselenggarakan di pelataran benteng Kairo. (Baca : Annemarie, Dan Muhammad Adalah Utusan Allah). Di sebagian negara berpenduduk besar muslim, hari itu diperingati dengan menyalakan obor di jalan-jalan sambil pawai mengelilingi kota. Hampir semua kaum muslimin di dunia, kecuali para pengikut Ibnu Taimiyah yang setia, tidak pernah meninggalkan tradisi ini. Ibnu Taimiyah, tokoh Islam paling ortodoks, memandang perayaan Maulid Nabi sebagai bid’ah, mengada-ada. Pandangan ini kemudian diteruskan dengan semangat Islam yang radikal oleh Muhammad bin Abdul Wahab, ulama terkemuka kelahiran Nejd, Saudi Arabia, 1703-1791. Para pengikutnya hari terus menyebarkan ajaran “maulid Nabi sebagai praktik keagamaan yang sesat”. Pandangan ini ditolak diseluruh dunia muslim.

Di Indonesia, perayaan maulid Nabi diselenggarakan di surau-surau, masjid-masjid, majlis ta’lim dan di pondok-pondok pesantren dengan beragam cara yang meriah dan dengan sejumlah acara, antara lain ; khitanan masal dan berbagai perlombaan. Malam hari tanggal 12 Maulid merupakan puncak acara. Biasanya mereka membaca sirah nabawiyah (sejarah hidup Nabi sejak kelahiran sampai wafatnya), dalam bentuk prosa dengan cara berganti-ganti dan kadang-kadang dengan dilagukan. Sebagian lagi sejarah Nabi tersebut dikemas dalam bentuk puisi-puisi yang sudah dipersiapkan. Salah satu puisi maulid Nabi saw ditulis oleh Syeikh Barzanji. Tradisi Mauludan paling megah dan biasanya dihadiri ratusan ribu orang diadakan di Kraton-Kraton di Jawa. Sejak menteri Agama dijabat orang NU, konon K.H. Wahid Hasyim, peringatan Maulid Nabi dijadikan sebagai hari libur Nasional dan diperingati di Istana negara. Tahun-tahun terakhir peringatan ini diadalakan di Masjid Istiqlal dan selalu dihadiri oleh Presiden.

Penulis sirah Nabawiyah dalam bentuk puisi yang dibaca setiap peringatan Maulid adalah Syeikh al-Barzanji bermazhab Mâlikî. Beliau sengaja menulis puisi-puisi yang sederhana tetapi mempesona untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad saw agar memudahkan masyarakatnya. Puisi-puisi ini dinyanyikan hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia setiap peringatan Maulid. Biasanya puisi-puisi ini dibacakan sambil berdiri sebagai penghormatan kepada Nabi yang dibayangkan hadir;

Aduhai Nabi, damailah engkau
Aduhai Rasul, damailah engkau
Aduhai kekasih, damailah engkau
Sejahteralah engkau

Telah terbit purnama di tengah kita
Maka tenggelam semua purnama
Seperti cantikmu tak pernah kupandang
Aduhai wajah ceria

Engkau matahari, engkau purnama
Engkau cahaya di atas cahaya
Engkau permata tak terkira
Engkau lampu di setiap hati

Aduhai kekasih, duhai Muhammad
Aduhai pengantin rupawan
Aduhai yang kokoh, yang terpuji
Aduhai imam dua kiblat

Selain al-Barzanji, mereka juga biasa menyanyikan puisi al-Bushairi; “Qasîdah Burdah”. Ibnu al-Jauzi seorang ulama bermazhab Hanbalî dengan sangat indah menggambar persitiwa kelahiran Nabi yang agung itu. Katanya: “Ketika Muhammad lahir malaikat menyiarkan beritanya dengan suara riuh rendah. Jibrîl datang dengan suara gembira. ‘Arasy bergetar. Para bidadari surga keluar menyebarkan wewangian. Ketika Muhammad lahir, Aminah, sang ibunya, melihat cahaya menyinari istana Bosra. Malaikat berdiri mengelilinginya dan membentangkan sayap-sayapnya”.

Peringatan Maulid Nabi adalah tradisi umat Islam di seluruh dunia sepanjang sejarah. Ia sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Jika ia salah atau sesat, niscaya seluruh dunia Islam tidak mentradisikannya. Sungguh sangat naif, jika ada orang yang membid’ahkannya (menganggapnya praktik yang sesat) hanya semata-mata karena Nabi tidak menyelenggarakannya atau tidak ada pada masa Nabi. Ini adalah pandangan yang sangat kerdil dan picik. Jika pandangan tersebut diterima secara luas, niscaya peradaban Islam akan berhenti, lalu mati. Maka upaya-upaya sebagian orang untuk menghentikan tradisi ini sama artinya dengan membunuh peradaban umat manusia. “Sesungguhnya Allah dan para Malaikat Allah memberikan penghormatan kepada Nabi Muhammad.Wahai orang-orang yang beriman, hormati, muliakanlah dan doakan keselamatan atasnya sungguh-sunguh”.(Q.S. alAhzab [33]:56.)

Read More…